Header AD

header ads

Benarkah Kewajiban Suami Mengurus Rumah Tangga?

Pernakah anda mendengar pertanyaan yang diajukan kepada seorang wanita seperti ini? "Wah sudah capek-capek sekolah tinggi, ujung2nya kasur, dapur, sumur!", atau "Kamu cuman mau jadi ibu rumah tangga aja? kerjaanya ya itu ga jauh2 dari cuci, masak, beres2?", "Coba kamu kerja, kamu bisa dapat uang, bisa jajan, belanja sesuatu yang kamu mau, kamu juga punya pegangan uang ketika suami ada apa2" "Kerjaan ibu rumah tangga itu ga jauh2 cuman di rumah.  padahal enak kalo kerja, punya penghasilan bisa jalan2." dan.... setumpuk pertanyaan serta penyataan yang ga jauh2 dari itu.

Sebenarnya, bagaimana islam memandang tugas istri? Darimana harta seorang istri di dapat? Jika istri tidak memiliki penghasilan dari bekerja, bagaimana cara menafkahi anak-anak ketika tiba-tiba kehilangan suami (suami wafat)?

Saya membaca mengenai

Benarkah Kewajiban Suami Mengurus Rumah Tangga? dan Hukum Mawaris dan Sistem Keluarga Dalam Islam di SINI

 

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain, dan karena mereka telah memberi nafkah sebagian dari harta mereka. (QS. An-Nisa’: 34)

Nafkah adalah segala yang dibutuhkan oleh seorang manusia, baik bersifat materi maupun bersifat ruhani.

Dari segi materi, umumnya nafkah itu terdiri dari makanan, pakaian dan tempat tinggal. Maka seorang isteri berhak untuk mendapatkan nafkah itu dengan tanpa harus ada kewajiban untuk mengolah, mengelola atau mengurusnya.

Jadi sederhananya, posisi isteri hanya tinggal buka mulut dan suami yang berkewajiban menyuapi makanan ke mulut isterinya. Tidak ada kewajiban isteri untuk belanja bahan mentah, memasak dan mengolah hingga menghidangkannya. Semua itu pada dasarnya kewajiban asasi seorang suami.
Seandainya suami tidak mampu melakukannya sendiri, tetap saja pada dasarnya tidak ada kewajiban bagi isteri untuk melaksanakannya. Bahkan kalau pun suami harus menyewa pembantu atau pelayan untuk mengurus makan dan urusan dapur.

Bahkan memberi nafkah kepada anak juga bukan kewajiban isteri. Suami itulah yang punya kewajiban untuk memberi nafkah kepada anak-anaknya. Termasuk memberinya air susu ibu, bukan kewajiban isteri tetapi kewajiban itu pada dasarnya ada pada suami. Kalau perlu, suami mengeluarkan upah kepada isterinya untuk menyusui anaknya sendiri.

Hubungan Suami Isteri: Tidak Selalu Hitam Putih
Namun apa yang kita bahas di atas hanyalah bilakalau kita bicara tentang hak dan kewajiban antara suami isteri secara hitam dan putih. Tanpa melihat sisi-sisi lain seperti pertimbangan moral, etika dan hubungan sosial. Jadi apa yang disampaikan pak ustadz itu pada hakikatnya memang benar, kalau dilihat hanya dari satu sisi saja.

Namun hubungan suami isteri tidak mungkin selamanya hanya didasarkan pada hubungan hukum hitam putih yang kaku. Tentu ada sisi-sisi lain sepeti aspek rasa cinta, saling memiliki, saling tolong, saling merelakan hak dan saling punya keinginan untuk membahagiakan pasangannya.
Sehingga seorang isteri yang pada dasarnya tidak punya kewajiban atas semua hal itu, dengan rela dan ikhlas melayani suaminya, belanja untuk suami, masak untuk suami, menghidangkan makan di meja makan untuk suami, bahkan menyuapi makan untuk suami kalau perlu. Semua dilakukannnyasemata-mata karena cinta dan sayangnya kepada suami.

Dengan semua hal itu, tentunya isteriakan menerima pahala yang besar dari apa yang dikerjakannya. Karena dengan bantuannya itu, suami akan menjadi senang dan ridha kepadanya.

Maka pasangan itu akan memanen kebaikan dan pahala dari Allah SWT. Suami mendapat pahala karena sudah melaksanakan kewajiabnnya, yaitu memberi hartanya untuk nafkah isterinya. Isteri mendapat pahala karena membantu meringankan beban suami. Meski hukumnya tidak wajib.
Itulah hubungan cinta antara suami dan isteri, yang jauh melebihi sekedar hubungan hak dan kewajiban. Tentu saja ketika seorang isteri mengerjakan hal-hal yang pada dasarnya menjadi kewajiban suami, maka wajar bila suami mengucapkan terima kasih dan memberikan penghargaan yang tulus.

Di dalam masyarakat Islam yang ideal, seharusnya ada baitulmal. Nah para janda baik yang ditinggal mati oleh suaminya atau yang diceraikan, maka baitulmal akan menjadi penanggung nafkahnya.
Alternatif lain adalah dari suaminya sendiri dari sejak masih berstatus suami isteri.
Barulah alternatif ketiga, wanita itu boleh bekerja di luar rumah. Setidaknya untuk menafkahi dirinya sendiri. Bila tidak ada baitulmal atau uang dari suami.

Wanita Bekerja
Sebenarnya ketika seorang wanita bekerja di luar rumah dan mendapat gaji, wanita itu sedang kehilangan hak istimewanya sebagai wanita mulia dan terhormat.
Lho kok begitu?
Karena sebenarnya dari sisi harta dan kepemilikannya, seorang wanita punya hak istimewa dalam Islam. Seorang wanita tidak pernah disunnahkan, apalagi diwajibkan, untuk mencari nafkah untuk dirinya sendiri. Kalau dia masih punya ayah, maka nafkahnya ditanggung oleh ayahnya. Dan kalau dia sudah bersuami, maka nafkahnya ditanggung oleh suaminya.

Konsep Nafkah
Nafkah adalah pemberian harta dari suami kepada isteri, di mana harta itu bukan milik bersama melainkan harta itu kemudian menjadi milik isteri.

Namun yang selama ini lebih sering terjadi adalah seorang suami menyerahkan gajinya kepada isteri untuk keperluan hidup. Di mana gaji itu seolah-olah bukan milik isteri, melainkan milik berdua. Sehingga isteri tidak mendapat apa-apa dari gaji suami.

Seharusnya, isteri dapat jatah khusus untuk dirinya, entah untuk ditabung atau dibelanjakan, di mana dia punya account khusus yang wajib terus dibayarkan oleh suami, di luar semua kepentingan rumah tangga. Sebab di luar nafkah isteri, suami tetap wajib membiayai semua keperluan hidup seperti makanan, pakaian, rumah dan keperluan rumah tangga yang lain.
Intinya, seorang isteri harus mendapat ‘gaji’ tersendiri, di luar kebutuhan rumah tangga. Dan kalau isteri pandai menabung, maka dia akan punya tabungan yang utuh, sebab dia tidak harus mengambil tabungannya untuk membiayai keperluannya. Mau makan, sudah ada yang wajib memberinya makan. Mau pakaian, sudah ada yang wajib memberinya pakaian. Mau tempat tinggal, juga sudah ada yang wajib memberinya tempat tinggal. Sementara ‘gaji’ nya utuh sebagai isteri.

Dan pemberian nafkah ini didasarkan pada ayat Al-Quran Al-Kariem.
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS. An-Nisa’: 34)

Mahar
Selain ada nafkah juga ada mahar. Boleh dibilang kalau hal itu dilakukan sebelum akad nikah atau menuju ke arah pernikahan, namanya mahar. Dan bila setelah nikah, namanya nafkah.
Tapi kedua-duanya jelas sekali, sepenuhnya nafkah itu adalah harta dari suami untuk diberikan sepenuhnya kepada isteri. Jadi begitu nafkah diberikan, harta itu kemudian 100% milik isteri.
Lucunya, kebiasaan di negeri kita, para wanita hanya diberi mahar berupa seperangkat alat shalat yang nilainya tidak lebih dari 100 ribu perak. Padahal mahar ini sebenarnya bisa berfungsi besar, yaitu sebagai ‘uang jaminan’ buat isteri dari suami, untuk serius menjalankan rumah tangga.
Kira-kita semacam DP atau uang muka, atau uang deposit. Seperti ketika anda mau menabung di bank, setidaknya anda harus punya sejumlah uang dulu misalnya 1 juta. Hanya bedanya, mahar ini sudah menjadi hak milik isteri, tidak akan dikembalikan.

Maka secara tradisi, nilainya cukup besar. Dan karena saking besarnya, sehinga banyak orang yang kemudian berlomba-lomba main besar-besaran dalam maharnya. Untuk itu Islam mengajurkan agar jangan terlalu mahal. Tetapi juga bukan berarti harus selalu murah sekali, seperti sendal jepit atau cincin dari besi.

Kasus wanita yang dinikahkan hanya dengan sendal, cincin besi atau bacaan Quran sebenarnya hanya pengecualian saja. Intinya, mahalnya mahar bukan hal yang mutlak. Dansama sekali tidak ada ketentuan bahwa mahalnya mahar menjadi tidak boleh.

Maka untuk mencari titik keseimbangan, perlu disekapati nilai mahar di awal sebelum pernikahan. Intinya, seandainya suami tiba-tiba menceraikan, maka isteri tidak akan kelabakan di PHK. Sebab di tangannya sudah ada uang jaminan yang cukup untuk membiayai hidupnya kemudian.

Karena maharnya berupa rumah kontrakan 20 pintu, atau angkot 10 unit, atau saham di perusahaan, dan seterusnya. Dari mahar itu saja, seorang wanita sudah bisa hidup terus.
Dan mahar itu tidak mengapa kalau mahal, sebab dalam Islam, mahar itu bisa dihutang. Kalau suami keberatan untuk membayar mahar sekaligus, maka dia boleh membayarnya dengan sistem kredit. Seperti mengkredit motor, mobil, atau rumah.

Dan yang menarik, seorang suami tidak akan pernah berpikir main menceraikan isterinya begitu saja, kalau ketika bayar maharnya saja sudah sedemikian berat. Pastilah suami akan berpikir 1000 kali sebelum menceraikan isterinya. Sebab berarti dia akan kehilangan haknya. Hitungannya, dia rugi besar.


Wallahu a’lam bishshawab
Benarkah Kewajiban Suami Mengurus Rumah Tangga? Benarkah Kewajiban Suami Mengurus Rumah Tangga? Reviewed by Lya on 8:15 PM Rating: 5

No comments

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Post AD

home ads