Header AD

header ads

Tumbuhkan kemandirian ANAK

Di penghujung tahun 2013, ada sebuah artikel yang memantapkan sikap saya atas pandangan umum “ibu adalah pekerjaan paling penting di dunia.” Dalam artikel itu, ada seorang anak yang ingin berhenti dari SMA karena ia merasa punya bakat menggebuk drum. Si anak ingin mengejar ambisinya menjadi seorang rock star bersama teman-temannya. Melihat anaknya yang ingin meninggalkan pendidikannya, apa yang dilakukan sang ibu? Si ibu mengizinkannya. Anak itu adalah Dave Grohl yang sempat dikenal sebagai drummer band Nirvana, dan kini terkenal sebagai vokalis band Foo Fighters.
Untuk kamu yang tidak terlalu suka musik rock, Foo Fighters adalah band yang sudah meledak sejak tahun 90-an, dan masih punya basis fans yang besar sampai saat ini. Singkat kata, si ibu percaya dengan kemandirian si anak. Dan motivasi si anak yang besar mengantarkannya ke kesuksesan.

anak bermain drum


Cerita kesuksesan yang didorong oleh kemandirian ini (sehingga membuat anak pantang menyerah dalam mengejar cita-citanya) pasti sudah sering kita dengar. Dave Grohl, Leonardo DiCaprio dan Bill Gates adalah segelintir contoh orang-orang yang kemauannya sangat kuat sampai mereka membuat keputusan berresiko besar seperti meninggalkan pendidikan mereka.
Sekarang saya tidak ingin membahas tentang bakat, motivasi, atau keberanian orang-orang ini. Tapi saya ingin membahas tentang bagaimana caranya menumbuhkan kemandirian di diri anak, sehingga mereka berani memilih sendiri masa depan mereka, seperti para orang sukses ini. Jawabannya kembali pada pandangan umum “ibu adalah pekerjaan paling penting di dunia”.
Ternyata, teknik pengasuhan pada saat anak berada di masa pra-sekolah menentukan apakah anak akan tumbuh menjadi anak yang mandiri atau tidak.
Teknik pengasuhan ini dikenal dengan istilah parental autonomy support. Dalam teknik pengasuhan ini, orang tua memberi kesempatan pada anak untuk bebas memilih aktivitas yang mereka inginkan (Skinner, Johnson, & Snyder, 2005). Tapi, aktivitas yang dipilih anak tidak sembarangan. Anak harus dibimbing untuk bisa mengeksplorasi serta menemukan manfaat dari pilihan yang mereka buat. Dengan begitu, anak akan terlatih untuk menilai apakah suatu aktivitas berguna bagi mereka atau tidak, dan dapat memilah aktivitas positif dari aktivitas yang tidak memberikan manfaat.
Kesuksesan dapat didorong oleh kemandirian, yang membuat anak pantang menyerah dalam mengejar cita-citanya.
Tidak berhenti di sana, dalam teknik parental autonomy support, anak juga dibimbing untuk mampu menjelaskan pilihan yang mereka buat (Skinner, Johnson, & Snyder, 2005). Sehingga, orang tua juga akan merasa mantap dan percaya dengan pilihan anak.

Untuk menerapkan teknik parenting dengan gaya parental autonomy support, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan. Pertama, gunakanlah kesempatan-kesempatan di mana anak bisa membuat keputusannya sendiri. Misalnya, saat ada dua pilihan (mau makan ayam bakar atau sate?), coba tanyakan mana yang lebih menarik bagi anak. Atau, saat akan bermain tanyakan apa sebaiknya permainan yang akan dipilih. Jika ada kesempatan, coba diskusikan mengapa anak mengambil pilihan tersebut (Deci, Eghrari, Patrick, & Leone; Grolnick, Gurland, DeCourcey, & Jacobs; Joussemet, Koestner, Lekes, & Houlfort, dalam Wooldridge & Shapka, 2012).



Orang tua boleh memberikan masukan mengenai baik-buruknya pilihan anak, tapi tetap hargai bahwa anak bisa memiliki alasan dalam membuat pilihan (Deci, Eghrari, Patrick, & Leone; Grolnick, Gurland, DeCourcey, & Jacobs; Joussemet, Koestner, Lekes, & Houlfort, dalam Wooldridge & Shapka, 2012). Jauhi sebisa mungkin bahasa yang bersifat mengontrol. Jika ada hal yang ingin dilarang, berikan alasannya kepada anak. Dengarkan juga pendapat anak mengenai alasan tersebut. Teruskan diskusi sampai anak setuju untuk menghindari hal itu. Sehingga, anak terbiasa membuat keputusan sendiri.

Langkah berikutnya adalah mendorong anak mengikuti aktivitas yang mengajaknya mandiri, seperti kemping. Semua hal di atas akan terbantu jika orang tua menunjukkan antusiasme terhadap apa yang dilakukan anak (Roggman, Cook, Jump, Innocenti, & Christiansen, 2009). Jika anak sudah bisa:
  1. Mengutarakan pendapat yang mereka miliki dan;
  2. Menjelaskan alur pemecahan dari suatu masalah yang ia hadapi, artinya orang tua telah berhasil menjalankan teknik ini.
Keuntungan yang didapatkan anak yang dibesarkan dengan teknik ini adalah: lebih termotivasi untuk menghadapi tantangan dan tahan mengerjakan tugas (Deci dalam Grolnick, 2009), memiliki kepuasan hidup yang tinggi (Deci, 2000), perkembangan bahasa dan kognisi sosial yang sehat, dan prestasi akademik yang baik (Wooldridge & Shapka, 2012).

Jadi, sudah siap untuk membuat program yang akan membuat generasi penerus kita mandiri?


Sumber yang dipakai:
Skinner, E., Johnson, S., & Synder, T. (2005). Six dimensions of parenting: A motivational model. Parenting: Science and Practice, 5 (2), 175-225.
Wooldridge, M.B. & Shapka, J. (2012). Playing with Technology : Mother-Toddler Interaction Scores Lower During Play with Electronic Toys. Journal of Applied Developmental Psychology, 33, 211-218.
Grolnick, W.S. (2009). The role of parents in facilitating autonomous self regulation for education. Theory and Research in Education, 7 (2), 164-173.


Untuk orang tua yang ingin menjalankan parental autonomy support, teknik ini sudah bisa dipraktekkan sejak anak berada pada usia pra-sekolah atau 3-6 tahun. Tidak perlu penerapan yang terlalu berat, teknik ini bisa dijalankan pada saat anak sedang bermain, karena bermain sebetulnya mempunyai fungsi yang sangat penting bagi perkembangan anak. Diantaranya, membantu pengembangan daya nalar, kreativitas, aspek sosial saat anak harus berbagi dengan temannya, membantu koordinasi gerakan mata-tangan (motorik halus), dan lain-lain.
Seperti apa bentuk parental autonomy support pada saat anak sedang bermain? Cukup mudah, pada saat bermain bersama anak, carilah kesempatan-kesempatan yang mengharuskan anak membuat pilihan dan tunjukkanlah penghargaan saat anak mengambil sebuah keputusan. Misalnya, mendorong anak untuk mencoba sendiri menyelesaikan “tugas” dalam permainannya seperti menyusun puzzle atau mewarnai gambar.

Saat anak menemukan kesulitan, berikan dorongan secara verbal untuk terus mencoba atau mencari penyelesaian lain. Saat anak meminta saran, coba berikan beberapa alternatif, minta anak untuk memilih salah satunya, dan tanyakan kenapa cara itu yang ia ambil. Dengarkan juga respon anak setelah anak mendapatkan saran dari orangtua.
Saat ada mainan baru yang masih asing atau masih sulit bagi anak, orangtua dapat memanfaatkan momen ini untuk memupuk kemandirian anak dengan mendorongnya untuk tidak takut mencoba. Anak juga harus didorong untuk membuat keputusan, dan orangtua perlu mendukung keputusan tersebut walaupun ternyata keputusannya salah (tentu diikuti dengan evaluasi), misalnya saat mengerjakan sebuah teka-teki.

Untuk menguatkan percaya diri anak, orangtua sebaiknya juga menunjukkan antusiasme terhadap aktivitas anak sehingga mereka tahu bahwa apa yang dilakukan memiliki arti.

Lalu, apakah semua aktivitas bermain itu sama? Apakah anak akan mendapatkan manfaat yang sama jika teknik ini dijalankan saat anak memainkan permainan elektronik dibandingkan saat memainkan permainan non-elektronik? Untuk menjawab hal ini, kita lihat penelitian kepada 61 pasang ibu-anak di Jakarta yang dilakukan oleh Wukiranuttama di tahun 2013.
Bentuk penelitiannya adalah sebagai berikut, peneliti memilih seperangkat mainan elektronik (video games) dan non-elektronik yang sama-sama menarik bagi anak. Kemudian, orang tua diminta untuk memainkan permainan non-elektronik bersama anak selama sepuluh menit. Setelah itu, permainan diganti dengan yang elektronik, juga selama sepuluh menit. Interaksi orang tua-anak direkam, setelah itu Wukiranuttama (2013) mengobservasi video rekamannya.

Saat dianalisa, peneliti melihat berapa orang tua yang secara naluriah melakukan teknik parental autonomy support dan berapa besar frekuensinya. Dengan membandingkan frekuensi munculnya parental autonomy support pada kedua jenis permainan, terlihat berapa banyak orang tua yang menemukan kesempatan untuk menjalankan teknik tersebut dan menggunakannya  (Wukiranuttama, 2013).

Hasil penelitian  Wukiranuttama (2013) menunjukkan bahwa parental autonomy support pada aktivitas bermain ibu-anak dengan mainan non-elektronik lebih tinggi dibandingkan saat anak bermain mainan elektronik. Dari bentuk penerapan yang telah dijelaskan di atas, bentuk penerapan frekuensinya sama besar hanyalah pada dimensi “mendukung anak dalam membuat keputusan”. Artinya, pada dimensi lain, orangtua yang anaknya memainkan mainan elektronik lebih sedikit melakukan parental autonomy support.

Orangtua yang anaknya memainkan mainan elektronik lebih sedikit melakukan parental autonomy support.
Ada beberapa kemungkinan penyebab dari hal ini. Pertama, saat memainkan video games, perhatian anak terpusat pada layar sehingga orangtua lebih sulit untuk menangkap saat anak memerlukan saran. Lalu, karena video games biasanya sudah memiliki cerita atau peraturan khusus, cara memainkannya pun menjadi terbatas sehingga tidak memungkinkan adanya eksplorasi lebih luas. Bandingkan dengan permainan congklak yang dapat diubah peraturannya atau diubah fungsinya (misalnya, papan congklak diubah menjadi perahu dari mainan orang-orangan). Belum lagi kebanyakan video games saat ini hanya dapat dimainkan satu orang.
Kemudian, permainan elektronik memiliki sistem apresiasinya sendiri seperti tulisan “Great!”, bintang, atau skor. Orangtua jadi tak berkesempatan untuk mengekspresikan antusiasme mereka. Interaksi orangtua jadi terbatas sebagai orang yang menemani dan bukan orang yang bermain bersama anak, sebuah hal yang cukup disayangkan karena anak jadi tak bisa belajar bekerja sama atau berbagi dengan orang lain, belajar memahami emosi orang lain, atau berkomunikasi dengan orang lain.

Jadi, ternyata tidak semua jenis permainan dapat secara efektif memberikan kesempatan untuk memberikan parental autonomy support. Informasi ini bisa berguna bagi orangtua atau kakak yang ingin memberikan mainan yang memberikan manfaat bagi si kecil.

Sumber yang dipakai:
Wukiranutama, Ranggih. (2013). Perbedaan Parental Autonomy Support dalam Interaksi antara Ibu dan Anak Usia Pra-Sekolah Ketika Bermain dengan Media Elektronik dan Non-Elektronik. Depok: Universitas Indonesia.

 (All)sumber dirangkum oleh : di SINI
Tumbuhkan kemandirian ANAK Tumbuhkan kemandirian ANAK Reviewed by Lya on 12:43 AM Rating: 5

No comments

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Post AD

home ads